Aqiqah disunnahkan untuk dilaksanakan pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama”. (HR.Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh mulai dihitung dari siang hari pada hari kelahiran sang bayi. Jika bayi lahir pada malam hari, maka malam tersebut tidak masuk dalam perhitungan satu hari. Hitungan itu akan dilanjutkan di hari-hari berikutnya. Namun, jika bayi lahir pada pagi hari, maka di hari saat dilahirkan itu juga sudah masuk dalam hitungan hari pertama.
Menurut para ulama, hikmah dari disunnahkannya melaksanakan aqiqah pada saat hari ketujuh bertujuan untuk meringankan keluarga bayi. Namun, jika aqiqah disunnahkan untuk dilaksanakan di hari-hari awal (misal hari pertama), tentu saja keluarga bayi juga akan kesulitan karena masih disibukkan dengan kehadiran bayi yang baru lahir. Sedangkan mencari kambing untuk disembelih juga itu memerlukan usaha yang lebih. Disyariatkannya aqiqah pada hari ketujuh dirasa sudah cukup memudahkan keluarga bayi dalam pelaksanaannya.
Penyembelihan hewan aqiqah yang dilaksanakan sebelum bayi lahir termasuk sembelihan biasa menurut ulama Syafi’iyah dan Hambali. Dengan demikian, menyembelih aqiqah sebelum bayi dilahirkan dianggap tidak sah. Sementara itu, ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga menganggap bahwa waktu penyembelihan aqiqah adalah di hari ketujuh sehingga melaksanakan aqiqah sebelum di hari ketujuh tidak diperbolehkan.