Kapan waktu pelaksanaan aqiqah itu?
Waktu Aqiqah – Agar dapat mengetahui lebih lanjut mengenai kapan waktu aqiqah dilaksanakan mari kita simak uraian di bawah ini.
Waktu pelaksanaan aqiqah menjadi persyaratan sebelum melakukan ibadah aqiqah. Bagaimana kita akan melaksanakan aqiqah jika kita tidak tahu waktu pelaksanaannya menurut syariat islam? Ada beberapa persyaratan sebelum melaksanakan aqiqah salah satunya mengenai waktu aqiqah. Syariat islam menetapkan batasan dan aturan waktu dalam melaksanakan ibadah aqiqah.
Kata aqiqah berasal dari berasal dari bahasa arab, sedangkan secara etimologi aqiqah berarti “memutus” yaitu “Aqqa wilidayhi” yang artinya jika ia memutus (tali silaturahmi) keduanya.
Pengertian aqiqah secara bahasa menurut para ulama, aqiqah adalah rambut kepala bayi yang tumbuh sejak dilahirkan. Sedangkan menurut istilah, aqiqah adalah menyembelih hewan ternak pada saat kelahiran anak sesuai dengan ketentuan syara’ sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT. Jadi, aqiqah merupakan perwujudan rasa syukur akan lahirnya seorang anak yang sangat diharapkan oleh setiap keluarga.
Sementara itu, ada ulama yang menjelaskan bahwa ibadah aqiqah sebagai penebus. Artinya, aqiqah itu akan menjadikan terlepas dari kekangan jin yang mengiringi semua bayi sejak lahir.
Ada berbagai pendapat mengenai hukum aqiqah, namun pendapat yang paling kuat tentang hukum aqiqah adalah sunnah muakkad yang merupakan pendapat dari jumhur ulama menurut hadits. Hukum melaksanakan aqiqah adalah sunnah muakkadah atau amat dianjurkan pelaksanaannya jika seorang muslim yang menunaikan ibadah aqiqah ini memiliki kemampuan atau kelebihan harta.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa syariat Islam menetapkan batasan dan aturan waktu dalam melaksanakan ibadah aqiqah.
AQIQAH PADA HARI KETUJUH
Batasan waktu didasarkan pada beberapa hadits Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, berdasarkan sabda Rasulullah SAW, para ulama menyepakati bahwa waktu yang paling baik untuk melaksanakan aqiqah adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran bayi. Hali ini didasarkan pada sabda Nabi Rasulullah SAW:
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.” (HR. Ahmad).
Berdasarkan hadits tersebut, pelaksanaan aqiqah disunnahkan dilakukan pada hari ketujuh atau seminggu setelah sang buah hati dilahirkan.
WAKTU DIHITUNGNYA PADA HARI KETUJUH
Bagaimana waktu mulai dihitungnya hari ketujuh tersebut?
Menurut yang disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah yang dikutip dari rumaysho.com yang artinya: “Mayoritas ulama pakar fiqih berpandangan bahwa waktu siang pada hari kelahiran adalah awal hitungan tujuh hari. Sedangkan waktu malam tidaklah jadi hitungan jika bayi tersebut dilahirkan malam, namun yang menjadi hitungan hari berikutnya.”
Selain itu, yang dijadikan dalil tersebut adalah hadits yang berbunyi: “Disembelih baginya pada hari ketujuh.” Hari yang dimaksudkan disini adalah siang hari.
Cara menghitung hari ketujuh kelahiran tersebut dengan ikut menyertakan hari kelahiran bayi. Misalnya jika ada bayi yang dilahirkan pada hari Senin pada tanggal 15 bulan Maret pukul 06.00, maka hitungan hari ketujuh untuk aqiqah sudah mulai dihitung pada hari Senin. Oleh karena itu, aqiqah bayi tersebut dilakukan pada hari Minggu tanggal 21 bulan Maret.
Namun, jika bayi lahir pada hari Senin tanggal 15 bulan Maret pukul 18.00, maka hitungan hari ketujuh tidak dimulai pada hari Senin, tetapi dari hari Selasa. Maka pelaksanaan aqiqah tersebut dilakukan pada hari Senin tanggal 22 bulan Maret.
TETAPI BAGAIMANA JIKA AQIQAH TIDAK DAPAT DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH? APAKAH BISA DILAKUKAN PADA HARI LAIN?
Pendapat lain dari Imam Hannibal, menurut beliau pelaksanaan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh. Namun, jika tidak bisa dilaksanakan pada hari itu, maka dapat dilakukan pada hari keempat belas kelahiran bayi. Jika tidak bisa dilakukan pada hari itu juga maka dilakukan pada hari kedua puluh satu. Pendapat ini dianggap sebagai hadits yang shahih oleh sebagian ulama. Jadi pelaksanaan aqiqah pada hari ketujuh kelahiran hukumnya memang bukan wajib. Namun, hari ketujuh kelahiran bayi dianggap saat yang paling afdol untuk melaksanakan aqiqah.
Sementara itu bagi Sayyid Sabiq, tanggal 20 diganti tanggal 21. Beliau juga menambahkan jika tidak dapat juga dilaksanakan pada hari itu karena faktor ekonomi maka pelaksanaan aqiqah dapat dilakukan kapanpun.
Tetapi jika seseorang tersebut dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, maka kewajiban melakukan aqiqahpun tidak perlu dilaksanakan. Hal ini karena, jika orang tersebut benar-benar tidak mampu, seorang muslim diperbolehkan untuk meninggalkan atau tidak melaksanakan ibadah aqiqah.
Pendapat lain yang disampaikan dari Ibnu Hajar, menurut beliau aqiqah hanya dapat dilaksanakan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Tetapi jika pada hari itu tidak dilaksanakan, maka sudah tidak ada ibadah aqiqah lagi untuknya.
Namun demikian, para ulama berpendapat bahwa para orang tua tetap boleh melakukan aqiqah anaknya hingga mencapai usia baligh. Hal ini artinya meskipun aqiqah dilaksanakan setelah anak berusia lebih dari tujuh hari tetap tidak hilang kesunahannya untuk beraqiqah.
KAPAN PELAKSANAAN AQIQAH JIKA ANAK SUDAH MENCAPAI USIA BALIGH NAMUN BELUM SEMPAT DIAQIQAHKAN OLEH KEDUA ORANG TUANYA?
Menurut Miftakhun dalam sesi tanya jawab yang berjudul “Bolehkah Aqiqah Di Usia Dewasa? Di NU Online, menuliskan bahwa jika orang tua masih ingin tetap mengakikahkan anaknya yang sudah baligh, maka ia dapat memberikan uang kepada anaknya untuk dipakai untuk membeli hewan aqiqah yang akan disembelih untuk aqiqahnya.
Hal itu dikarenakan kesunahan ibadah akikah bagi orang tua sudah hilang setelah anaknya berusia baligh. Selanjutnya, tanggung jawab aqiqah diserahkan pada anak itu sendiri untuk mengakikahi dirinya. Hal ini didasarkan pada hadits berikut :
“Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengakikahi dirinya sendiri setelah ia diutus menjadi nabi”. (HR.Baihaqi)
Mazhab Syafi’I juga berpendapat bahwa pelaksanaan aqiqah masih menjadi tanggung jawab orang tua khususnya seorang ayah hingga anaknya mencapai usia baligh. Apabila si anak sudah dewasa, aqiqah menjadi gugur tetapi sang anak boleh mengakikahi dirinya sendiri.
Sementara itu, hal ini juga selaras dengan pendapat sejumlah ulama, seperti Muhammad bin Sirin, Imam Ahmad, serta Imam Atha dan Hasan Al-Bashri.
NAMUN BAGAIMANAKAH JIKA ANAK TERSEBUT SUDAH MENINGGAL? KAPAN WAKTU PELAKSANAAN AQIQAHNYA ATAUKAH TIDAK PERLU DIAKIKAHI?
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa menurut jumhur ulama hukum aqiqah adalah sunnah muakkad. Hukum ini juga berlaku bagi anak yang baru lahir dan masih hidup. Terdapat pedoman waktu untuk pelaksanaan aqiqah yakni aqiqah tidak dilakukan pada hari pertama kelahiran tetapi pada hari ketujuhlah waktu yang baik untuk melaksanakan aqiqah. Jika pada hari ketujuh belum sanggup melaksanakannya karena masalah ekonomi atau karena sebab yang lainnya, maka dianjurkan dilaksanakan pada hari keempat belas. Jika masih belum bisa dilaksanakan maka dilakukan pada hari kedua puluh satu.
Menurut pendapat Syaikh Utsaimin, aqiqah untuk anak yang sudah meninggal atau bagi yang belum diakikahi selama hidupnya maka kita tidak perlu melaksanakan aqiqah. Karena, hewan aqiqah hanya disembelih sebagai tebusan bagi anak yang baru lahir ke dunia, untuk harapan akan keselamatannya, dan untuk mengusir roh jahat pada si anak, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang berjudul Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud.